Minggu, 23 Oktober 2011

STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN DALAM RANGKA PEMBEBASAN RABIES DI PULAU BOHOL - PHILIPPINES


Oleh :
Gatot Santoso*

Virus RNA mempunyai peranan yang sangat penting dalam menimbulkan penyakit pada manusia di dunia (emerging human diseases).   Salah satu penyebabnya adalah kemampuan virus untuk berkembang dengan cepat dan beradaptasi dengan spesies baru dari host.  Dengan demikian dapat memperluas jangkauan infeksi, termasuk manusia (penyakit zoonosis baru).  Perubahan lingkungan dan sosial berkontribusi untuk menyediakan ekologi baru dan dapat mempercepat terbentuknya varian virus baru.  Kelompok virus ini merupakan salah satu agen penyebab rabies. 
Rabies adalah penyakit yang sangat kompleks, sebagian karena distribusi yang luas secara global, jumlah varian virus dan host yang beragam, tingkat kematian kasus yang tinggi dan keberadaannya mempunyai pengaruh terhadap kesehatan hewan dan manusia.  Rabies terjadi di  Afrika,  Amerika, Australia, Eropa Timur dan Asia.  Penyebaran penyakit ini dari daerah kutub ke lintang beriklim sedang, dan endemik di daerah tropis. Agen etiologi adalah virus RNA dari genus Lyssavirus. Meskipun host alami rentan mencakup semua mamalia, penyakit ini ditularkan oleh karnivora domestik dan liar, dan oleh banyak spesies kelelawar, yang semua bertindak sebagai reservoir untuk sebelas spesies Lyssavirus.  
Manusia terinfeksi setelah terkena virus yang terdapat pada air liur atau jaringan dari hewan terinfeksi rabies, dan biasanya melalui gigitan, masuk melalui luka terbuka atau kontaminasi pada selaput lendir.  Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini dan rabies hampir selalu menyebabkan kematian setelah timbulnya gejala klinis.  
Tujuan utama dari pengendalian rabies adalah pencegahan kematian manusia.   Selama berabad-abad, kontrol rabies pada host reservoir  merupakan unsur penting dalam mengukur angka kematian manusia. Pencegahan dengan vaksinasi pada hewan dan eliminasi dilakukan oleh negara-negara berkembang, hal ini karena anjing liar bertanggung jawab untuk sebagian besar (99,9%) dari semua kasus kematian pada manusia. 
Program pencegahan dan pengendalian yang kurang efektif di negara-negara berkembang menyebabkan puluhan ribu kematian pada manusia setiap tahun. Di negara-negara endemik rabies, anjing merupakan masalah kesehatan masyarakat dan ancaman bagi daerah bebas rabies melalui pergerakan atau lalu lintas hewan seperti yang terjadi di Bali, di mana pada tahun 2008 Bali terjangkit rabies. Rabies masih membunuh satu orang setiap  menit, dengan kejadian tertinggi kematian pada manusia terjadi  di Afrika dan Asia dan sebagian besar kematian terjadi pada anak-anak kurang dari 15 tahun.  Pencegahan dan pengendalian rabies tidak efektif di sebagian besar negara berkembang telah didorong oleh kurangnya kesadaran tentang dampak penyakit dan kurang nya perhatian dan sikap institusi dalam pengendalian penyakit rabies.
Dari perspektif kesehatan masyarakat, rabies tetap menjadi "diabaikan (neglected zoonosis)" terutama karena terjadi di lapisan masyarakat bawah dimana kemiskinan dan perawatan kesehatan untuk manusia dan hewan tidak terjamin secara baik.  Rabies terutama mempengaruhi segmen dari populasi, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan daerah pedesaan dengan akses yang cukup terbatas. Sehingga untuk menyelamatkan jiwa dan melakukan intervensi serta pelayanan kesehatan untuk pengendalian mengalami kesulitan.  Komunitas ini memiliki suara politik kecil, oleh karena itu dampak adanya kebijakan kesehatan yang ada menjadi terbatas.
Selain itu, dari perspektif kesehatan hewan, terutama spesies yang terlibat dalam penularan rabies (anjing domestik) dan transmisi ke manusia di daerah endemik rabies sering diabaikan oleh institusi pelayanan kesehatan hewan dan sektor kesehatan masyarakat .  Di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, sebagian besar dari populasi anjing tidak dibatasi atau semirestricted dan tidak di bawah kontrol langsung dari pemiliknya. Istilah ini mencakup anjing yang berkeliaran bebas dilingkungan baik ada pemiliknya ataupun tidak dan tidak membedakan apakah anjing memiliki "pemilik" atau "tidak".  
Anjing tidak termasuk dalam sistem perawatan kesehatan konvensional dibandingkan dengan spesies lain yang diakui sebagai vektor penyakit (misalnya, vektor serangga penular penyakit malaria atau demam berdarah) yang dikendalikan sebagai bagian dari program pengendalian kesehatan masyarakat.  Anjing tidak seperti hewan ternak, karena bukan komoditas ekonomi yang diakui.  Akibatnya, di banyak negara yang terkena rabies, pelayanan kedokteran hewan dan dokter hewan swasta tidak memiliki keinginan untuk memprioritaskan dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan untuk mengendalikan penyakit ini.
Ketika kita bertanya siapa yang bertanggung jawab untuk pengendalian rabies, masalah menjadi semakin kompleks.  Tidak ada satu institusi, lembaga, atau negara dapat menanggung tanggung jawab untuk pencegahan dan pengendalian rabies yang efektif.  Sebaliknya, rabies adalah penyakit "lintas batas" dan kerjasama lintas sektoral dibutuhkan untuk pencegahan dan pengendalian yang efektif. 
Dalam konteks "one health”, berbagai disiplin ilmu dasar yang diperlukan untuk program eliminasi rabies yang komprehensif, termasuk pengendalian hewan dan kesejahteraan hewan, diagnostik, ekologi, ekonomi, pendidikan, epidemiologi, komunikasi bidang kesehatan, antropologi, pelayanan kesehatan hewan dan manusia, virologi, dan biologi satwa liar.  Pendekatan terpadu/terintegrasi sangat penting dalam pencegahan rabies pada manusia,  Pengendalian penyakit pada reservoir anjing, telah banyak diakui oleh organisasi-organisasi kesehatan internasional.  Proyek percontohan yang sukses adalah penting untuk menunjukkan kelayakan manfaat pengendalian/eliminasi rabies pada anjing rabies dan manfaat langsung untuk kesehatan manusia. Proyek-proyek tersebut memiliki potensi untuk mengurangi kejadian rabies secara lokal, dan bertindak sebagai katalis untuk mendorong program-program skala besar atau nasional dengan melibatkan daerah lain / negara dalam inisiatif serupa, dan terutama dapat menarik dukungan dana internasional. 
Salah satu program percontohan untuk strategi pencegahan dan pengendalian  rabies pada manusia melalui kontrol reservoir adalah Program Rabies Bohol yang berada di  Provinsi Bohol dengan populasi manusia sebanyak 1,2 juta.  . 



Gambar 1. Pulau Bohol - Philippines (tanda panah)


 Program ini mempunyai dasar strategi pada inisiatif berbasis masyarakat (community based), dengan fokus pada kolaborasi dengan pemerintah daerah, pemberdayaan masyarakat lokal untuk merancang, melaksanakan, dan mengelola program pengendalian rabies oleh mereka sendiri sesuai dengan program rabies nasional. Selain itu program pengendalian rabies ini mempunyai target pendidikan yang ditujukan pada anak sekolah dan eliminasi rabies pada anjing.  Program percontohan ini dibiayai oleh pemerintah provinsi dan GARC(Global Alliance for Rabies Control), program juga di danai oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, masyarakat lokal, pemilik anjing dan institusi/lembaga nonpemerintah.
Program ini dimulai pada tahun 2007,  dan telah memobilisasi sekitar 15.000 orang termasuk pejabat pemerintah lokal, hewan dan pekerja kesehatan manusia, guru sekolah, pemimpin desa, dan sukarelawan (village-based "rabies watchers"); memperkenalkan pendidikan rabies ke kurikulum sekolah di semua sekolah dasar negeri di pulau Bohol.
            Efektivitas vaksinasi anjing telah ditingkatkan dengan mengatur populasi anjing dalam program pengendalian.  Tindakan yang diambil adalah  mengurangi populasi anjing dan meningkatkan standar kesejahteraan hewan saat melakukan tindakan eliminasi.  Dampak positif yang terukur dari program ini mencakup peningkatan kesadaran dan peningkatan kesehatan hewan serta kesehatan manusia.  
Secara khusus, survei kesadaran masyarakat mengungkapkan bahwa > 94% dari penduduk setempat mendengar tentang rabies, > 61% memiliki pengetahuan tentang penularan rabies  dan > 82% sadar dan mendukung Program Pengendalian Rabies Bohol.  Selain itu, per Oktober 2010 di pulau Bohol tidak lagi dilaporkan kematian pada manusia dan hewan akibat rabies selama kurun waktu dua tahun.
             Dalam rangka untuk membuat Bohol bebas rabies dalam periode waktu yang singkat, dapat disimpulkan beberapa komponen strategi yang penting yaitu : 

1.    Mobilisasi dan pelatihan pemimpin masyarakat untuk pelaksanaan lokal dari kebijakan nasional dalam memerangi rabies (community based). 
2.    Integrasi topik rabies dalam kurikulum sekolah. 
3.    Kampanye pendidikan. 
4.    Pendataan anjing dan vaksinasi serta pengendalian populasi anjing. 
5.    Vaksinasi pasca paparan terhadap individu yang berisiko tinggi. 
6.    Pendirian pusat medis untuk pengobatan luka gigitan, termasuk pelatihan staf kesehatan. 
7.    Surveilans penyakit.

KERJASAMA LINTAS SEKTORAL YANG TERINTEGRASI DALAM RANGKA MEWUJUDKAN INDONESIA BEBAS RABIES


Rabies adalah penyakit hewan yang tertua di dunia dan bersifat zoonosis.  Rabies merupakan penyakit menular yang akut dari susunan syaraf pusat yang dapat menyerang hewan berdarah panas dan manusia yang disebabkan oleh virus. Bahaya rabies berupa kematian dan gangguan ketentraman hidup masyarakat. Pada hewan seperti anjing, kucing dan kera yang menderita rabies akan menjadi ganas dan biasanya cenderung menyerang atau menggigit manusia. Kasus penyakit ini pada hewan maupun manusia selalu diakhiri dengan kematian.  Akibatnya penyakit ini selalu menimbulkan rasa takut, kekhawatiran serta keresahan yang mengganggu ketentraman batin masyarakat.
            Kewaspadaan terhadap penyebaran rabies tetap terus dilakukan untuk mempertahankan status bebas dari suatu daerah melalui salah satu diantaranya dengan pengawasan lalu lintas yang ketat terhadap anjing dan Hewan Penular Rabies (HPR) lainnya.  Mengingat bahaya dan keganasan rabies tidak hanya terhadap kesehatan dan ketentraman hidup masyarakat tetapi dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi para peternak, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan perlu dilaksanakan seintensif mungkin.
Di Indonesia kasus pernah dilaporkan di Bali pada 1 Desember 2008, dan oleh Menteri Pertanian Bali ditetapkan sebagai daerah wabah rabies.  Kejadian rabies pada anjing pernah juga dilaporkan pada bulan Agustus 2010 di Pulau Larat Maluku Tenggara Barat.  Daerah di Indonesia yang masih bebas rabies antara lain Nusa Tenggara Barat, Irian Jaya Barat, Papua, Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan beberapa pulau kecil di Sumatra.  Pulau Jawa bebas karena pengendalian yang dilakukan secara vaksinasi.
Data tahun 2011 menginformasikan kasus kematian akibat rabies berjumlah 38 kasus, terdiri dari Sumatra Barat : 4 kasus, Sumatra Utara : 9 kasus, Bali : 12 kasus, NTT : 1 kasus, Sulawesi Tengah : 7 kasus dan Maluku : 5 kasus.   Pulau Nias yang sebelumnya merupakan daerah bebas historis pada Februari 2010 di Kota Gunung Sitoli menjadi tertular rabies dan menyebar sampai ke Kabupaten/Kota yang ada di Pulau Nias (Dirjen PP dan PL 2011).   
Indonesia merupakan negara berkembang dimana banyak kasus kejadian rabies pada manusia terjadi di daerah terpencil dan jauh dari sarana prasarana dan pelayanan kesehatan yang baik. Dari perspektif kesehatan masyarakat, rabies tetap menjadi "diabaikan (neglected zoonosis)" terutama karena terjadi di lapisan masyarakat bawah dimana kemiskinan dan perawatan kesehatan untuk manusia dan hewan tidak terjamin secara baik.  Rabies terutama mempengaruhi segmen dari populasi, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan daerah pedesaan dengan akses yang cukup terbatas. Sehingga untuk menyelamatkan jiwa dan melakukan intervensi serta pelayanan kesehatan untuk pengendalian mengalami kesulitan.  Komunitas ini juga memiliki suara politik kecil, oleh karena itu dampak adanya kebijakan kesehatan yang ada menjadi terbatas.   Sedangkan dari perspektif kesehatan hewan, terutama spesies yang terlibat dalam penularan rabies (anjing domestik) dan transmisi ke manusia di daerah endemik rabies sering diabaikan oleh institusi pelayanan kesehatan hewan dan sektor kesehatan masyarakat .  
Di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, sebagian besar dari populasi anjing tidak dibatasi atau semirestricted dan tidak di bawah kontrol langsung dari pemiliknya. Istilah ini mencakup anjing yang berkeliaran bebas dilingkungan baik ada pemiliknya ataupun tidak dan tidak membedakan apakah anjing memiliki "pemilik" atau "tidak".  Anjing tidak termasuk dalam sistem perawatan kesehatan konvensional dibandingkan dengan spesies lain yang diakui sebagai vektor penyakit (misalnya, vektor serangga penular penyakit malaria atau demam berdarah) yang dikendalikan sebagai bagian dari program pengendalian kesehatan masyarakat.  Anjing tidak seperti hewan ternak, karena bukan komoditas ekonomi yang diakui.  Akibatnya, di banyak negara yang terkena rabies, pelayanan kedokteran hewan dan dokter hewan swasta tidak memiliki keinginan untuk memprioritaskan dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan untuk mengendalikan penyakit ini.
Program pengendalian dan pemberantasan yang telah dilakukan dibeberapa daerah di Indonesia masih belum efektif.  Hal ini berkaitan dengan kerjasama lintas sektoral dan kebijakan yang ada belum terpadu atau terintegrasi dengan baik disisi lain konsep yang ada sudah cukup baik.  Adanya otonomi daerah, pada kenyataannya semakin membuat program dalam rangka pembebasan rabies menjadi terhambat.  Program pencegahan dan pengendalian yang ada masih belum terlaksana dengan baik dan belum melibatkan sumber daya lokal dengan memberdayakan masyarakat yang ada.  Kesadaran masyarakat setiap tahun dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, namun sampai saat ini masih belum mengenai sasaran yang tepat.
Strategi pencegahan dan pengendalian pada negara berkembang sudah dilaporkan dan sudah banyak yang berhasil membebaskan daerahnya dari rabies.  Sebagai contoh program pengendalian yang dilakukan oleh Philippines yang telah berhasil membebaskan Pulau Bohol dari rabies.   Program ini mempunyai dasar strategi pada inisiatif berbasis masyarakat (community based), dengan fokus pada kolaborasi dengan pemerintah daerah, pemberdayaan masyarakat lokal untuk merancang, melaksanakan, dan mengelola program pengendalian rabies oleh mereka sendiri sesuai dengan program rabies nasional.  Selain itu program pengendalian rabies ini mempunyai target pendidikan yang ditujukan pada anak sekolah dan eliminasi rabies pada anjing.    
Indonesia merupakan negara kepulauan dan dapat mencontoh program pengendalian rabies pada negara berkembang yang telah berhasil membebaskan wilayahnya dari rabies seperti Philippines.  Program pengendalian rabies harus dilakukan secara bertahap sebagai contoh pulau Bali, Ambon, Nias dan beberapa daerah di Indonesia dapat mencontoh program pengendalian rabies di pulau Bohol.
Untuk mewujudkan Indonesia bebas rabies perlu dilakukan  pengendalian lalulintas hewan penular rabies dengan melakukan pengawasan yang ketat terhadap keluar masuk nya anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya ke daerah bebas di Indonesia.  Kegiatan pengendalian ini dilakukan oleh institusi karantina pertanian yang bertujuan untuk mencegah penularan dan penyebaran rabies lebih luas dari suatu area ke area lainnya.  Pengendalian lalulintas ini tertuang dalam Kepmentan Nomor 1096/kpts/TN.120/10/1999 dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 344b./kpts/PD.670.370/L/12/06.
Kegiatan lain yang dilakukan antara lain penelusuran, penyidikan dan surveilans rabies pada hewan dan manusia yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian.  Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengendalian rabies terus ditingkatkan yang menjadi tangung jawab semua sektor terkait.  Pengendalian dan pencegahan rabies dapat dilakukan dengan vaksinasi, eliminasi dan pengendalian populasi anjing.  Kita belajar dari kasus rabies di Bali, dimana Bali merupakan daerah bebas dan tidak diperbolehkan vaksinasi pada hewan-hewan rentan, akibatnya terjadi wabah pada tahun 2008 dan menyebabkan kasus kematian pada manusia.
Pemberdayaan masyarakat sangat penting, karena Indonesia merupakan negara dengan sosial-ekonomi, budaya, dan adat istiadat yang beragam.  Mengikutsertakan masyarakat dalam pembebasan rabies sudah dilaporkan sangat efektif.  Dibeberapa negara berkembang bahkan sudah memasukkan program pencegahan dan pengendalian rabies pada kurikulum pendidikan di sekolah dasar dimana keterlibatan anak-anak usia sekolah mempunyai  peranan yang sangat penting.  Keterlibatan institusi yang bertanggung jawab terhadap penelitian juga sangat dibutuhkan untuk studi ekologi, epidemiologi,dan perilaku pemeliharaan anjing.
Program pencegahan dan pengendalian dalam rangka pembebasan rabies di Indonesia tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya kerjasama lintas sektoral dan kebijakan yang terintegrasi.  Program ini harus didukung oleh pemerintah pusat, daerah, masyarakat lokal, pihak swasta dan para sukarelawan.  Program ini sangat membutuhkan dana yang tidak sedikit, oleh karena itu kerjasama pemerintah pusat, daerah dan pihak ketiga sangat dibutuhkan untuk membiayai program ini agar dapat berjalan dengan baik.

Sabtu, 18 Juni 2011

VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS SEBAGAI AGEN PENYEBAB FOODBORNE DISEASE

PENDAHULUAN

            Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global, sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan masyarakat.  Timbulnya penyakit yang berasal dan melalui pangan (foodborne disease) dan kejadian-kejadian kontaminasi pangan terjadi di berbagai negara, tidak hanya di negara berkembang dimana kondisi sanitasi dan higiene umumnya buruk, tetapi juga di negara-negara maju.
Penyakit-penyakit yang berasal dari pangan diperkirakan menimpa satu dari tiga orang di negara maju.  Di negara sedang berkembang, penyakit diare diperkirakan merupakan penyebab kematian utama sebanyak 2,2 juta anak. Penyakit ini memberi kontribusi yang nyata pada masalah kekurangan gizi dan respon kekebalan yang tertekan yang umum dialami anak-anak di negara berkembang.  Penyakit-penyakit diare yang timbul terutama disebabkan oleh patogen asal pangan dan asal air (waterborne), dengan penyebab yang dipindahkan melalui pangan mencapai 70%.
 Makanan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia.   Salah satu ciri makanan yang baik adalah aman dan layak untuk dikonsumsi.  Makanan yang menarik, nikmat, dan tinggi gizinya akan menjadi tidak berarti sama sekali jika tidak aman untuk dikonsumsi.  Makanan yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bakteri dan bahan kimia berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar sehingga sifat dan zat gizinya tidak rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia.  Oleh sebab itu, kualitas makanan, baik secara bakteriologi, kimia, dan fisik, harus selalu diperhatikan.  
Kualitas dari produk pangan untuk konsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh mikroorganisme.  Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan memegang peran penting dalam pembentukan senyawa yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan menjadi tak layak makan. Beberapa mikroorganisme yang mengontaminasi makanan dapat menimbulkan bahaya bagi yang mengonsumsinya.   Kondisi tersebut dinamakan keracunan makanan.  Lebih dari 90 persen terjadinya foodborne diseases pada manusia disebabkan kontaminasi mikrobiologi, yaitu antara lain penyakit tifus, disentri bakteri atau amuba, botulism dan intoksikasi bakteri lainnya, serta hepatitis A dan trichinellosis. WHO mendefinisikan foodborne diseases sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna.
Di sebagian besar negara tidak ada kewajiban untuk melaporkan penyakit yang ditularkan melalui makanan kepada otoritas kesehatan masyarakat. Telah diperkirakan bahwa hanya beberapa kasus aktual penyakit makanan dapat dicatat, karena kurangnya kesadaran akan peran etiologi makanan.  Kejadian bahwa makanan bertanggung jawab pada kasus penyakit tidak bisa untuk analisis karena tidak ada data dan tidak teridentifikasi.  Ketika identifikasi agen etiologi telah berhasil, bakteri patogen adalah agen penyakit yang paling sering ditemukan.  Salah satunya ikan adalah yang paling sering terlibat diikuti oleh kekerangan. moluska dan krustasea (Jaksic et al 2002).

Tabel 1. Spesies Vibrio yang berkaitan dengan penyakit pada manusia.
Species
Penyakit
V. cholera, O1
Cholera, wound infection
V. cholera, non-O1
Diarrhoea, gastroenteritis, wound infection, secondary septicaemia
V. mimicus
Diarrhoea, gastroenteritis, wound infection
V. parahaemolyticus
Gastroenteritis, wound infection, otitis media
V. fluvialis
Diarrhoea
V. furnissii
Diarrhoea
V. holisae
Diarrhoea
V vulnificus
Wound infection, primary septicaemia, secondary septicaemia
V. alginolyticus
Wound infection, otitis media
V. damsel
Wound infection
Sumber : Adam and Moss 2008.

Salah satu bakteri yang mengkontaminasi makanan (kerang, udang dan hasil laut lainnya) dan menyebabkan keracunan makanan serta gastroenteritis (diare akut) adalah bakteri Vibrio parahaemolyticus (Dumontet et al 2000).  Bakteri ini patogen dan mempunyai daya virulensi yang tinggi pada makanan laut khususnya udang (Sudheesh and Xu 2002). 
Kita ketahui bahwa bumi kita sebagian besar wilayahnya merupakan lautan dan rata-rata penduduk dunia menyukai produk makanan laut, maka penting bagi kita untuk mengetahui mikroba yang mengkontaminasi produk makanan dari laut sehingga kita dapat mencegah, menanggulangi dan mengobati penyakit akibat bakteri ini.

TUJUAN

            Memberikan informasi mengenai bakteri Vibrio parahaemolyticus yang merupakan penyebab foodborne disease dan gastroenteritis khususnya akibat mengkonsumsi makanan laut.


VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS

Klasifikasi.
           
kingdom          : Bacteria
filum                : Proteobacteria
kelas                : Gamma Proteobacteria
order                : Vibrionales
famili               : Vibrionaceae
genus               : Vibrio
species             : Vibrio parahaemolyticus
(Sumber : Wikipedia 2011)

Morfologi
Bakteri Vibrio parahaemolyticus (Vp) merupakan bakteri gram negatif, halofilik, bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob dan mempunyai flagelum kutub tunggal dan tidak dapat membentuk spora serta bersifat zoonosis ( Austin 2010).  Perubahan bentuk morfologi Vp dapat terjadi dengan perlakuan suhu dingin dan kondisi lingkungan yang tidak menunjang (Chen et al 2009).

  

                                              Gambar 1. Bentuk Vibrio parahaemolyticus

Habitat Vibrio parahaemolyticus
Bakteri Vp hidup pada sekitar muara sungai (brackish water atau estuaries), pantai (coastal waters) tetapi tidak hidup pada laut dalam (open sea).  Bakteri Vp terutama hidup di perairan Asia Timur.  Bakteri ini tumbuh pada air laut dengan kadar NaCl optimum 3%,  ( berkembang baik pada kadar NaCl 0,5% - 8 %)  pada kisaran suhu 5 -  43 OC, pH 4,8 –11 dan water activity (aw) 0,94- 0,99.   Pertumbuhan berlangsung cepat pada suhu  optimum 37 OC dengan waktu generasi hanya 9-11 menit.  Pada beberapa spesies Vibrio suhu pertumbuhan sekitar 5 – 43 OC (pada suhu 10 OC merupakan suhu minimum pada lingkungan) (Adams and Moss 2008). Selama musim dingin, organisme ini ditemukan di lumpur laut, sedangkan selama musim panas mereka ditemukan di perairan pantai.  Bakteri Vp dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan produk makanan laut lainnya (Sudheesh and Xu 2002).
Vp adalah bakteri halofilik didistribusikan di perairan pantai di seluruh dunia.  Bakteri ini ditemukan di lingkungan muara sungai dan menunjukkan variasi musiman, yang hadir dalam jumlah tertinggi selama musim panas. Selama musim dingin, bakteri ini tetap berada di bawah muara pada bahan chitinous plankton (Ray 2004).

Patogenisitas Vibrio parahaemolyticus
Masa inkubasi yang dilaporkan untuk keracunan makanan oleh Vp bervariasi dari 2 jam sampai 4 hari meskipun biasanya 9 - 25 jam.  Penyakit bertahan hingga 8 hari dan dicirikan oleh diare profuse berair bercampur darah atau lendir, muntah, nyrti perut,  dan demam.  Vp lebih enteroinvasive dari Vibrio cholerae, dan menembus epitel usus untuk mencapai lamina propria.  Sebuah sindrom disentri juga telah dilaporkan dari sejumlah negara termasuk Jepang (Adams and Moss 2008).
Tidak semua strain dari Vp bersifat patogen. Strain patogen bawaan makanan dapat menyebabkan hemolisis karena adanya suatu hemolisin panas- stabil dan ditujukan sebagai Kanagawa-positif.  Saat ini, hemolisin panas-stabil 23-kDa (disebut hemolisin langsung termostabil/TDH) dianggap sebagai racun. Kebanyakan strain terisolasi dari sumber-sumber alam (air muara, plankton, kerang, dan ikan) adalah Kanagawa-negatif.  Namun, beberapa strain Kanagawa-negatif juga telah dikaitkan dengan wabah bawaan makanan.  Tingkat produksi racun berhubungan dengan pertumbuhan sel,  konsentrasi sel, dan pH lingkungan. Jika bentuk racun sudah terdapat dalam makanan, pemanasan tidak akan merusak toksin tersebut (Ray 2004).
Patogenesitas strain Vp sangat terkait dengan kemampuan mereka untuk menghasilkan 23-kDa, termostabil, ekstraseluler, haemolysin. Saat diuji pada suatu media yang dikenal sebagai agar Wagatsuma's, haemolysin bisa melisiskan darah manusia dan sel darah kelinci tapi tidak pada darah kuda,  sebuah fenomena yang dikenal sebagai reaksi Kanagawa. Haemolysin juga telah ditunjukkan untuk dapat mengakibatkan enterotoxic, sitotoksik, dan kardiotoksik (Raghunath et al 2008).

Distribusi Penyakit.
            Vibrio parahaemolyticus pertama kali menunjukkan gejala enteropatogenik pada tahun 1951, yang menyebabkan wabah foodborne disease dan menjadi penyebab 50-70% penyakit gastroenteritis di Jepang (Adams and Moss 2008).  Kasus sporadis dan beberapa kejadian luar biasa (KLB) dengan common source dilaporkan dari berbagai bagian dunia, terutama dari Jepang, Asia Tenggara dan AS.  Beberapa KLB dengan korban yang banyak terjadi di AS yang disebabkan karena mengkonsumsi seafood yang tidak dimasak dengan sempurna. Kasus-kasus ini terjadi terutama pada musim panas.  Beberapa KLB yang akhir-akhir ini terjadi disebabkan oleh strain Kanagawa negatif, dan strain urease positif.
Vp teridentifikasi sebagai patogen pangan pertama kali di Jepang, pada tahun 1950.  Infeksi disebabkan oleh konsumsi sarden, dengan 272 orang sakit dan 20 meninggal.  Sejak itu, Vp dikenal sebagai penyebab penyakit karena seafood mentah atau setengah matang di Jepang dan beberapa negara Asia lainnya (Daniels et al 2000).  Kejadian luar biasa keracunan pangan karena Vp (KLB Vp) didefinisikan sebagai kejadian dua atau lebih kasus penyakit dengan gejala klinis yang mirip, yang terjadi setelah mengkonsumsi suatu jenis seafood.  Pada kasus infeksi Vp 1988 – 1997 di Florida, Alabama, Louisiana dan Texas, 59%-nya merupakan penyakit gastroenteritis, 8% dengan septisemia dan 34% dengan infeksi kulit.  Sebanyak 88% dari penderita gastroenteritis tercatat mengkonsumsi tiram mentah sebelum sakit, sementara 91% penderita septisemia juga mengkonsumsi makanan yang sama sebelum sakit.  Dari total 345 kasus, 45% di antaranya dirawat dan 4% meninggal dunia (Daniels et al  2000). 


                                  Gambar 2. Distribusi penyakit diare akut (gastroenteritis).

Kejadian outbreaks di Korea  terjadi pada musim panas, hal ini berkaitan adanya konsentrasi yang tinggi pada tiram karena pada saat musim panas suhu air menjadi hangat.  Vp sangat jarang bisa diisolasi pada suhu air dibawah 15 OC (Yoon et al 2008).

Proses Penularan
Bakteri Vibrio parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi produk makanan laut seperi udang, kerang, ataupun ikan mentah yang dimasak kurang sempurna.  Penularan juga dapat terjadi pada makanan yang telah dimasak sempurna namun tercemar oleh personal/individu yang pada saat bersamaan menangani produk ikan mentah. 


                              Gambar 3. Kerang yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus

Penyakit dan Gejala Klinis.
Jika kita mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus, ada kemungkinan kita akan terkena gastroenteritis bila sistem kekebalan tubuh dalam keadaan buruk.   Istilah gastroenteritis digunakan secara luas untuk menggambarkan pasien yang mengalami perkembangan diare dan/atau muntah akut (Lee et al 2008).  Istilah ini menjadi acuan bahwa terjadi proses inflamasi dalam lambung dan usus. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja lebih banyak dari biasanya (normal 100 – 200 ml per jam tinja), dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cair (setengah padat) dapat pula disertai frekuensi yang meningka.  Diare adalah defekasi yang tidak normal baik frekuensi maupun konsistensinya, frekuensi diare lebih dari 4 kali sehari.
Diare akut akibat bakteri Vp disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah sehingga disebut diare inflamasi.  Akibatnya terjadi kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar.  Masa inkubasi bakteri Vp biasanya antara 12 sampai 24 jam, tetapi dapat juga berkisar antara 4 sampai 30 jam.  Gejala yang muncul  adalah  kejang perut yang tiba-tiba dan berlangsung selama 48 – 72 jam dengan masa inkubasi 8 – 72 jam. Gejala lain adalah mual, muntah, sakit kepala, badan agak panas dan dingin. Pada sebagian kecil kasus juga menyebabkan septisemia (Lee et al 2008).

Siklus Hidup Vibrio parahaemolyticus 



                            Gambar 4. Siklus Hidup Vibrio parahaemolyticus (Sumber : CDC)

Teknik Isolasi dan Identifikasi
            Penentuan total Vp dapat dilakukan dengan metode MPN (Most probable number) konvensional dilanjutkan menggunakan konfirmasi biokimia atau dengan pemupukan pada media non selektif yang dilanjutkan dengan deteksi menggunakan pelacak (probe) gen tlh (thermolabile hemolysin).  Untuk identifikasi strain Vp patogen dapat dilakukan dengan uji kanagawa atau menggunakan pelacak DNA dengan atau tanpa kombinasi dengan PCR (Polymerase Chain Reaction / perbanyakan kopi sekuens DNA) untuk mendeteksi gen didalam Vp.
Teknik analisis sangat berpengaruh pada tingkat isolasi bakteri dan waktu analisis. Metode pelacak DNA berkorelasi sangat baik dengan teknik penghitungan konvensional menggunakan konfirmasi biokimia, dengan waktu analisis yang lebih cepat.  Untuk strain patogen, analisis dengan pelacak gen jauh lebih sensitif dibandingkan dengan teknik analisis konvensional.  Teknik PCR dengan menggunakan isolat DNA yang berasal dari media pengkayaan memberikan hasil yang jauh lebih baik dari metode MPN konvensional (Alam et al 2002).




                           Tabel 2. Karakteristik biokimia Vibrio spp.



                                Sumber : Jaksic et al 2002.

Media yang digunakan untuk deteksi vibrio dalam pangan dan air dikembangkan berdasarkan pertimbangan kemampuan bakteri ini untuk tumbuh cepat pada pH alkali, tahan terhadap efek penghambatan yang diberikan oleh garam empedu dan natrium tellurite, dan toleran terhadap garam (NaCl).  Media pengkayaan yang umum digunakan untuk Vibrio adalah APW (broth alkaline peptone water), NTSB (salt trypticase soy broth) dan SPB (salt polimiksin broth).
Sebagai media selektif, TCBS (thiosulfate-citrate-bile-saccharose) adalah yang paling umum digunakan. Kelemahan media ini adalah tidak terlalu spesifik membedakan Vp dari V. hollisae, V. mimicus dan V. vulnificus yang sama-sama membentuk koloni berwarna hijau.  Harakudo et al 2001, mengembangkan media selektif CV (chromogenic agar) yang mengandung substrat untuk ß-galaktosidase (CV) pada CV agar, yang bisa membedakan Vp dari koloni peng-ganggu sebagai koloni berwarna violet (Gambar 6).   


                     Gambar 5.  Koloni Vp pada agar CV (a, warna ungu)   dan TCBS (b, warna hijau)

 Teknik dot blotting dengan menggunakan monoclonal antibodi juga digunakan untuk membedakan spesies Vibrio tanpa isolasi bakteri terlebih dahulu.  Teknik ini merupakan pengembangan monoclonal antibodi untuk deteksi dengan metode sederhana dalam membedakan Vibrio dibandingkan teknik PCR (Pengsuk et al 2010). 

Keterkaitan Vibrio parahaemolyticus dengan makanan.
Keracunan makanan oleh Vp selalu berhubungan dengan ikan dan kekerangan.  Kejadian wabah telah dilaporkan di USA dan Eropa, akan tetapi di Jepang keracunan makanan akibat Vp adalah penyebab paling umum dari keracunan makanan.  Ini dikaitkan dengan kebiasaan kuliner masyarakat di Jepang yang mengkonsumsi ikan mentah atau setengah matang, walaupun penyakit juga dapat terjadi akibat kontaminasi silang produk yang telah masak yang berada di dapur.   Meskipun bakteri ini hanya akan menjadi bagian dari flora alami ikan yang ditangkap di perairan pantai selama musim panas, oleh karena itu akan dapat dengan mudah menyebar ke spesies ikan yang berada pada lingkungan air yang lebih dalam, kontaminasi juga dapat terjadi melalui kontak di pasar ikan dan akan berkembang biak cepat jika produk itu tidak dalam keadaan cukup dingin (Adams and Moss 2008).
            Vibrio parahaemolyticus telah diisolasi dalam jumlah yang tinggi dari berbagai jenis makanan laut yang dipanen dari lingkungan muara, khususnya selama musim panas.  Wabah serta kasus sporadis gastroenteritis, terkait dengan konsumsi makanan laut yang masih mentah (ikan, kerang, kepiting, udang, dan lobster), dimasak tidak sempurna, atau terkontaminasi setelah pemanasan.  Dalam makanan laut mentah dan matang yang tidak disimpan dalam refrigerator, Vp dapat tumbuh dengan cepat, terutama pada suhu 20 sampai 30OC.  Dalam makanan laut dengan penyimpanan pada suhu yang tidak tepat, sel dapat mencapai tingkat dosis infektif sangat cepat, dari jumlah awal yang rendah.  Banyak wabah di AS diketahui karena memasak tidak sempurna dan kontaminasi silang pada makanan laut yang telah matang, diikuti dengan pengendalian suhu yang tidak tepat.

Pengendalian
Vibrio sp mudah rusak oleh panas, sehingga memasak dengan benar dan tepat adalah paling efektif untuk menghilangkan Vibrio.  Pada kepiting yang terkontaminasi secara alami oleh V. cholerae 01, bakteri dapat bertahan pada suhu mendidih hingga 8 menit dan pengukusan sampai 25 menit (Jaksic et al 2002).
Sebagian besar penyakit disebabkan karena makan makanan laut mentah atau kurang matang, terutama tiram. Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak seafood secara benar dan menghindari konsumsi makanan laut mentah serta memperhatikan kebersihan pribadi (good personal hygiene practice) (Linton 2005).  Pengendalian juga dilakukan dengan melihat bahwa kejadian infeksi atau kontaminasi akibat Vp banyak terjadi pada musim panas dan pada kondisi air yang hangat, dan harus menjadi perhatian khusus pada kondisi tersebut.
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam mengendalikan gastroenteritis yang disebabkan oleh Vp.  Makanan laut yang dipanen dari muara harus diasumsikan mengandung Vp yang patogen.  Dalam seafood mentah, pemanasan yang tidak sempurna atau terkontaminasi setelah proses pemanasan, penyimpanan tidak pada suhu dingin, sel dapat berkembang biak dengan cepat. Setelah strain patogenik tumbuh dan menghasilkan toksin, bahkan perlakuan panas tidak dapat menghancurkan toksin. Dengan pemahaman ini, metode pengendalian harus mencakup sebagai berikut :  tidak ada konsumsi makanan laut mentah, perlakuan panas yang tepat dari makanan laut, sanitasi yang layak untuk menghindari kontaminasi silang makanan yang telah dipanaskan, pendinginan yang tepat produk mentah dan dipanaskan, dan konsumsi makanan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.  Pengaturan suhu yang tidak tepat untuk makanan laut yang akan dikonsumsi dalam jangka waktu pendek harus dihindari (Ray 2004).

Cara Pencegahan
Berbagai tindakan preventif mutlak dilakukan untuk meminimalkan terjadinya keracunan makanan dan gastroenteritis. Namun, pencegahan yang dilakukan tidak perlu dengan menghindari produk yang potensial tercemar mikroba karena produk pangan tersebut merupakan salah satu sumber asupan gizi yang diperlukan tubuh kita. Untuk produk makanan laut segar, pencucian dapat menurunkan potensi bahaya akibat bakteri Vp. Pencucian atau pembilasan makanan dapat menghilangkan kotoran dan kontaminan lainnya. Pencucian dapat dilakukan dengan air, sanitiser dan lain-lain. Air yang dipakai untuk mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan makanan. Selain itu, produk makanan laut yang akan dimakan hendaknya dimasak secara sempurna untuk membunuh larva yang mengkontaminasi makanan. Untuk ikan yang akan dikalengkan,dibekukan atau dikeringkan, sebaiknya dilakukan pemblansiran terlebih dahulu. Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 OC.  Waktu blansir bervariasi antara 1-11 menit tergantung dari macam tergantung pada jenis, ukuran, derajat kematangan ikan yang diinginkan.Tujuan pemblansiran adalah untuk menghambat atau mencegah aktivitas enzim Vibrio parahaemolyticus. Blansir merupakan pemanasan pendahuluan bahan pangan yang biasanya dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau dikeringkan. Maksudnya untuk menghambat atau mencegah aktivitas enzim dan mikroorganisme.  Penyajian pasca pemasakan juga tidak boleh luput dari perhatian. Sebaiknya makanan yang telah melalui proses pemasakan langsung dikonsumsi. Sebagian besar kasus foodborne diseases di Indonesia diakibatkan oleh penanganan pasca pemasakan yang tidak sempurna, seperti penyimpanan yang terlalu lama.
Untuk produk pangan yang dikalengkan, sebaiknya perhatikan keadaan kaleng. Jangan mengonsumsi makanan dari kaleng yang sudah rusak atau berbau asam. Selain itu, tanggal kedaluwarsa juga mutlak diperhatikan. Satu hal yang perlu mendapat perhatian untuk produk kemasan adalah proses yang tidak sempurna dan kerusakan kemasan selama distribusi maupun penyimpanan.
Ciri-ciri makanan kaleng yang telah rusak, yaitu flipper, springer, soft swell, dan hard swell. Flipper dapat dicirikan permukaan kaleng kelihatan datar, tetapi bila salah satu ujung kaleng ditekan, ujung lainnya akan menjadi cembung. Springer dapat dicirikan dari salah satu ujung kaleng sudah cembung secara permanen. Bila ditekan, cembung akan bergerak ke arah yang berlawanan.  Soft swell dicirikan dengan kedua ujung kaleng sudah cembung, tetapi belum begitu keras sehingga masih bisa ditekan sedikit ke dalam.  Hard swell dicirikan dengan kedua ujung permukaan kaleng cembung dan sangat keras, sehingga tidak bisa ditekan ke dalam oleh ibu jari. Selain itu, masih ada flat sour, yakni permukaan kaleng tetap datar tetapi produknya sudah berbau asam yang menusuk. Hal itu disebabkan oleh aktivitas spora bakteri tahan panas yang tidak hancur selama proses sterilisasi.
Cara pencegahan yang lain adalah dengan pemberian Imunisasi aktif dengan vaksin mati whole cell, yang diberikan secara parenteral kurang bermanfaat untuk penanggulangan wabah maupun untuk penanggulangan kontak. Vaksin ini hanya memberikan perlindungan parsial (50%) dalam jangka waktu yang pendek (3 - 6 bulan) di daerah endemis tinggi tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi asimptomatik, oleh karena itu pemberian imunisasi tidak direkomendasikan.

Penatalaksanaan Pengobatan.

a. Penggantian cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut.  Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena.  Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air.  Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air.  Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium.  Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin. Jumlah cairan yang diberikan, hendaknya sesuai dengan jumlah cairan yang keluar.

b. Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian antibiotik.  Pemberian antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda diare, tanda infeksi seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses, untuk mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, diare pada pelaku perjalanan (travellers), dan pasien immunocompromised.  Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan, tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.

c. Obat anti diare
Kelompok antisekresi selektif .
Terobosan terbaru dalam abad ini adalah mulai tersedianya secara luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare dan dapat digunakan pada anak-anak.

Kelompok opiate.
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil).  Penggunaan kodein adalah 15-60 mg 3x sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5 mg 3 – 4 x sehari.  Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekuensi diare.  Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi frekuensi defekasi sampai 80%.   Bila diare akut dengan gejala demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.

Kelompok absorbent.
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan atas dasar bahwa zat ini dapat menyerap bahan infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.

 d.  Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekuensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.


DAFTAR PUSTAKA


Adams MR and Moss MO. 2008. Food Microbiology. Third Edition.University of Surrey, Guildford, UK. The Royal Society of Chemistry.

Alam MJ, Tomochika KI, Miyoshi SI, Shinoda S. 2002. Environmental investigation of potentially pathogenic Vibrio parahaemolyticus in the Seto-Inland Sea, Japan. FEMS Microbiol Lett. 208 (2002) :83-87.

Anonimus. 2011. Vibrio. http://id.wikipedia.org/wiki/Vibrio

Austin B. 2010. Vibrios as casual agents of zoonoses. Journal of Veterinary Microbiology 140 (2010) : 310–317.

Chen SY, Jane WN, Chen YS, Wong HC. 2009. Morphological changes of Vibrio parahaemolyticus under cold and starvation stresses. International Journal of Food Microbiology 129 (2009) : 157–165.

Daniels NA, MacKinnon L, Bishop R, Altekruse S, Ray B, Hammond RM, Thompson S, Wilson S, Bean NH, Griffin PM and Slutsker L. 2000. Vibrio parahaemolyticus Infections in the United States, 1973–1998. The Journal of Infectious Diseases 181 (2000) :1661–1666.

Dumontet S, Krovacek K,  Svenson SB, Pasquale V, Baloda SB and Figliuolo G. 2000. Prevalence and diversity of Aeromonas and Vibrio spp. in coastal waters of Southern Italy. Journal Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Diseases 23 (2000) : 53-72.

Harakudo Y,  Nishina T, Nakagawa H, Konuma H, Hasegawa J and  Kumagai S. 2001. Improved method for detection of Vibrio parahaemolyticus in seafood. Appl Environ Microbiol 67 (2001) : 5819-5823.

Jaksic S, Uhitil S, Petrak T, Bazulic D and Karolyi LG.  2002.  Occurrence of Vibrio spp. in sea fish, shrimps and bivalve molluscs harvested from Adriatic sea.  Journal of Food Control 13 (2002) : 491–493

Lee JK, Jung DW, Eom SY,  Oh SW, Kim Y,  Kwak HY and Kim YH. 2008.  Occurrence of Vibrio parahaemolyticus in oysters from Korean retail outlets.  Journal of Food Control 19 (2008) : 990–994.

Linton R. 2005. Food Safety Hazards in Foodservice and Food Retail Establishments. Department of Food Science Purdue University.

Pengsuk C , Longyant S Rukpratanporn S, Chaivisuthangkura P, Sridulyakul P  and Sithigorngul P. 2010. Development of monoclonal antibodies for simple detection and differentiation of Vibrio mimicus from V. cholerae and Vibrio spp. by dot blotting. Journal Aquaculture 300 (2010) : 17–24.

Raghunath P, Acharya S, Bhanumathi A, Karunasagar I and  Karunasagar I. 2008. Detection and molecular characterization of Vibrio parahaemolyticus isolated from seafood harvested along the southwest coast of India. Journal of Food Microbiology 25 (2008) : 824– 830.

Ray B. 2004. Fundamental Food Microbiology. Third Edition. published in the Taylor & Francis e-Library.

Sudheesh PS and Xu HS. 2001. Pathogenicity of Vibrio parahaemolyticus in tiger
prawn Penaeus monodon Fabricius: possible role of extracellular proteases. Journal Aquaculture 196 (2001) : 37–46

Yoon KS, Min KJ, Jung YJ, Kwon KY, Lee JK and Oh SW . 2008.  A model of the effect of temperature on the growth of pathogenic and nonpathogenic Vibrio parahaemolyticus isolated from oysters in Korea. Journal of Food Microbiology 25 (2008) : 635– 641.