Minggu, 23 Oktober 2011

STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN DALAM RANGKA PEMBEBASAN RABIES DI PULAU BOHOL - PHILIPPINES


Oleh :
Gatot Santoso*

Virus RNA mempunyai peranan yang sangat penting dalam menimbulkan penyakit pada manusia di dunia (emerging human diseases).   Salah satu penyebabnya adalah kemampuan virus untuk berkembang dengan cepat dan beradaptasi dengan spesies baru dari host.  Dengan demikian dapat memperluas jangkauan infeksi, termasuk manusia (penyakit zoonosis baru).  Perubahan lingkungan dan sosial berkontribusi untuk menyediakan ekologi baru dan dapat mempercepat terbentuknya varian virus baru.  Kelompok virus ini merupakan salah satu agen penyebab rabies. 
Rabies adalah penyakit yang sangat kompleks, sebagian karena distribusi yang luas secara global, jumlah varian virus dan host yang beragam, tingkat kematian kasus yang tinggi dan keberadaannya mempunyai pengaruh terhadap kesehatan hewan dan manusia.  Rabies terjadi di  Afrika,  Amerika, Australia, Eropa Timur dan Asia.  Penyebaran penyakit ini dari daerah kutub ke lintang beriklim sedang, dan endemik di daerah tropis. Agen etiologi adalah virus RNA dari genus Lyssavirus. Meskipun host alami rentan mencakup semua mamalia, penyakit ini ditularkan oleh karnivora domestik dan liar, dan oleh banyak spesies kelelawar, yang semua bertindak sebagai reservoir untuk sebelas spesies Lyssavirus.  
Manusia terinfeksi setelah terkena virus yang terdapat pada air liur atau jaringan dari hewan terinfeksi rabies, dan biasanya melalui gigitan, masuk melalui luka terbuka atau kontaminasi pada selaput lendir.  Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini dan rabies hampir selalu menyebabkan kematian setelah timbulnya gejala klinis.  
Tujuan utama dari pengendalian rabies adalah pencegahan kematian manusia.   Selama berabad-abad, kontrol rabies pada host reservoir  merupakan unsur penting dalam mengukur angka kematian manusia. Pencegahan dengan vaksinasi pada hewan dan eliminasi dilakukan oleh negara-negara berkembang, hal ini karena anjing liar bertanggung jawab untuk sebagian besar (99,9%) dari semua kasus kematian pada manusia. 
Program pencegahan dan pengendalian yang kurang efektif di negara-negara berkembang menyebabkan puluhan ribu kematian pada manusia setiap tahun. Di negara-negara endemik rabies, anjing merupakan masalah kesehatan masyarakat dan ancaman bagi daerah bebas rabies melalui pergerakan atau lalu lintas hewan seperti yang terjadi di Bali, di mana pada tahun 2008 Bali terjangkit rabies. Rabies masih membunuh satu orang setiap  menit, dengan kejadian tertinggi kematian pada manusia terjadi  di Afrika dan Asia dan sebagian besar kematian terjadi pada anak-anak kurang dari 15 tahun.  Pencegahan dan pengendalian rabies tidak efektif di sebagian besar negara berkembang telah didorong oleh kurangnya kesadaran tentang dampak penyakit dan kurang nya perhatian dan sikap institusi dalam pengendalian penyakit rabies.
Dari perspektif kesehatan masyarakat, rabies tetap menjadi "diabaikan (neglected zoonosis)" terutama karena terjadi di lapisan masyarakat bawah dimana kemiskinan dan perawatan kesehatan untuk manusia dan hewan tidak terjamin secara baik.  Rabies terutama mempengaruhi segmen dari populasi, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan daerah pedesaan dengan akses yang cukup terbatas. Sehingga untuk menyelamatkan jiwa dan melakukan intervensi serta pelayanan kesehatan untuk pengendalian mengalami kesulitan.  Komunitas ini memiliki suara politik kecil, oleh karena itu dampak adanya kebijakan kesehatan yang ada menjadi terbatas.
Selain itu, dari perspektif kesehatan hewan, terutama spesies yang terlibat dalam penularan rabies (anjing domestik) dan transmisi ke manusia di daerah endemik rabies sering diabaikan oleh institusi pelayanan kesehatan hewan dan sektor kesehatan masyarakat .  Di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, sebagian besar dari populasi anjing tidak dibatasi atau semirestricted dan tidak di bawah kontrol langsung dari pemiliknya. Istilah ini mencakup anjing yang berkeliaran bebas dilingkungan baik ada pemiliknya ataupun tidak dan tidak membedakan apakah anjing memiliki "pemilik" atau "tidak".  
Anjing tidak termasuk dalam sistem perawatan kesehatan konvensional dibandingkan dengan spesies lain yang diakui sebagai vektor penyakit (misalnya, vektor serangga penular penyakit malaria atau demam berdarah) yang dikendalikan sebagai bagian dari program pengendalian kesehatan masyarakat.  Anjing tidak seperti hewan ternak, karena bukan komoditas ekonomi yang diakui.  Akibatnya, di banyak negara yang terkena rabies, pelayanan kedokteran hewan dan dokter hewan swasta tidak memiliki keinginan untuk memprioritaskan dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan untuk mengendalikan penyakit ini.
Ketika kita bertanya siapa yang bertanggung jawab untuk pengendalian rabies, masalah menjadi semakin kompleks.  Tidak ada satu institusi, lembaga, atau negara dapat menanggung tanggung jawab untuk pencegahan dan pengendalian rabies yang efektif.  Sebaliknya, rabies adalah penyakit "lintas batas" dan kerjasama lintas sektoral dibutuhkan untuk pencegahan dan pengendalian yang efektif. 
Dalam konteks "one health”, berbagai disiplin ilmu dasar yang diperlukan untuk program eliminasi rabies yang komprehensif, termasuk pengendalian hewan dan kesejahteraan hewan, diagnostik, ekologi, ekonomi, pendidikan, epidemiologi, komunikasi bidang kesehatan, antropologi, pelayanan kesehatan hewan dan manusia, virologi, dan biologi satwa liar.  Pendekatan terpadu/terintegrasi sangat penting dalam pencegahan rabies pada manusia,  Pengendalian penyakit pada reservoir anjing, telah banyak diakui oleh organisasi-organisasi kesehatan internasional.  Proyek percontohan yang sukses adalah penting untuk menunjukkan kelayakan manfaat pengendalian/eliminasi rabies pada anjing rabies dan manfaat langsung untuk kesehatan manusia. Proyek-proyek tersebut memiliki potensi untuk mengurangi kejadian rabies secara lokal, dan bertindak sebagai katalis untuk mendorong program-program skala besar atau nasional dengan melibatkan daerah lain / negara dalam inisiatif serupa, dan terutama dapat menarik dukungan dana internasional. 
Salah satu program percontohan untuk strategi pencegahan dan pengendalian  rabies pada manusia melalui kontrol reservoir adalah Program Rabies Bohol yang berada di  Provinsi Bohol dengan populasi manusia sebanyak 1,2 juta.  . 



Gambar 1. Pulau Bohol - Philippines (tanda panah)


 Program ini mempunyai dasar strategi pada inisiatif berbasis masyarakat (community based), dengan fokus pada kolaborasi dengan pemerintah daerah, pemberdayaan masyarakat lokal untuk merancang, melaksanakan, dan mengelola program pengendalian rabies oleh mereka sendiri sesuai dengan program rabies nasional. Selain itu program pengendalian rabies ini mempunyai target pendidikan yang ditujukan pada anak sekolah dan eliminasi rabies pada anjing.  Program percontohan ini dibiayai oleh pemerintah provinsi dan GARC(Global Alliance for Rabies Control), program juga di danai oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, masyarakat lokal, pemilik anjing dan institusi/lembaga nonpemerintah.
Program ini dimulai pada tahun 2007,  dan telah memobilisasi sekitar 15.000 orang termasuk pejabat pemerintah lokal, hewan dan pekerja kesehatan manusia, guru sekolah, pemimpin desa, dan sukarelawan (village-based "rabies watchers"); memperkenalkan pendidikan rabies ke kurikulum sekolah di semua sekolah dasar negeri di pulau Bohol.
            Efektivitas vaksinasi anjing telah ditingkatkan dengan mengatur populasi anjing dalam program pengendalian.  Tindakan yang diambil adalah  mengurangi populasi anjing dan meningkatkan standar kesejahteraan hewan saat melakukan tindakan eliminasi.  Dampak positif yang terukur dari program ini mencakup peningkatan kesadaran dan peningkatan kesehatan hewan serta kesehatan manusia.  
Secara khusus, survei kesadaran masyarakat mengungkapkan bahwa > 94% dari penduduk setempat mendengar tentang rabies, > 61% memiliki pengetahuan tentang penularan rabies  dan > 82% sadar dan mendukung Program Pengendalian Rabies Bohol.  Selain itu, per Oktober 2010 di pulau Bohol tidak lagi dilaporkan kematian pada manusia dan hewan akibat rabies selama kurun waktu dua tahun.
             Dalam rangka untuk membuat Bohol bebas rabies dalam periode waktu yang singkat, dapat disimpulkan beberapa komponen strategi yang penting yaitu : 

1.    Mobilisasi dan pelatihan pemimpin masyarakat untuk pelaksanaan lokal dari kebijakan nasional dalam memerangi rabies (community based). 
2.    Integrasi topik rabies dalam kurikulum sekolah. 
3.    Kampanye pendidikan. 
4.    Pendataan anjing dan vaksinasi serta pengendalian populasi anjing. 
5.    Vaksinasi pasca paparan terhadap individu yang berisiko tinggi. 
6.    Pendirian pusat medis untuk pengobatan luka gigitan, termasuk pelatihan staf kesehatan. 
7.    Surveilans penyakit.

KERJASAMA LINTAS SEKTORAL YANG TERINTEGRASI DALAM RANGKA MEWUJUDKAN INDONESIA BEBAS RABIES


Rabies adalah penyakit hewan yang tertua di dunia dan bersifat zoonosis.  Rabies merupakan penyakit menular yang akut dari susunan syaraf pusat yang dapat menyerang hewan berdarah panas dan manusia yang disebabkan oleh virus. Bahaya rabies berupa kematian dan gangguan ketentraman hidup masyarakat. Pada hewan seperti anjing, kucing dan kera yang menderita rabies akan menjadi ganas dan biasanya cenderung menyerang atau menggigit manusia. Kasus penyakit ini pada hewan maupun manusia selalu diakhiri dengan kematian.  Akibatnya penyakit ini selalu menimbulkan rasa takut, kekhawatiran serta keresahan yang mengganggu ketentraman batin masyarakat.
            Kewaspadaan terhadap penyebaran rabies tetap terus dilakukan untuk mempertahankan status bebas dari suatu daerah melalui salah satu diantaranya dengan pengawasan lalu lintas yang ketat terhadap anjing dan Hewan Penular Rabies (HPR) lainnya.  Mengingat bahaya dan keganasan rabies tidak hanya terhadap kesehatan dan ketentraman hidup masyarakat tetapi dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi para peternak, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan perlu dilaksanakan seintensif mungkin.
Di Indonesia kasus pernah dilaporkan di Bali pada 1 Desember 2008, dan oleh Menteri Pertanian Bali ditetapkan sebagai daerah wabah rabies.  Kejadian rabies pada anjing pernah juga dilaporkan pada bulan Agustus 2010 di Pulau Larat Maluku Tenggara Barat.  Daerah di Indonesia yang masih bebas rabies antara lain Nusa Tenggara Barat, Irian Jaya Barat, Papua, Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan beberapa pulau kecil di Sumatra.  Pulau Jawa bebas karena pengendalian yang dilakukan secara vaksinasi.
Data tahun 2011 menginformasikan kasus kematian akibat rabies berjumlah 38 kasus, terdiri dari Sumatra Barat : 4 kasus, Sumatra Utara : 9 kasus, Bali : 12 kasus, NTT : 1 kasus, Sulawesi Tengah : 7 kasus dan Maluku : 5 kasus.   Pulau Nias yang sebelumnya merupakan daerah bebas historis pada Februari 2010 di Kota Gunung Sitoli menjadi tertular rabies dan menyebar sampai ke Kabupaten/Kota yang ada di Pulau Nias (Dirjen PP dan PL 2011).   
Indonesia merupakan negara berkembang dimana banyak kasus kejadian rabies pada manusia terjadi di daerah terpencil dan jauh dari sarana prasarana dan pelayanan kesehatan yang baik. Dari perspektif kesehatan masyarakat, rabies tetap menjadi "diabaikan (neglected zoonosis)" terutama karena terjadi di lapisan masyarakat bawah dimana kemiskinan dan perawatan kesehatan untuk manusia dan hewan tidak terjamin secara baik.  Rabies terutama mempengaruhi segmen dari populasi, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan daerah pedesaan dengan akses yang cukup terbatas. Sehingga untuk menyelamatkan jiwa dan melakukan intervensi serta pelayanan kesehatan untuk pengendalian mengalami kesulitan.  Komunitas ini juga memiliki suara politik kecil, oleh karena itu dampak adanya kebijakan kesehatan yang ada menjadi terbatas.   Sedangkan dari perspektif kesehatan hewan, terutama spesies yang terlibat dalam penularan rabies (anjing domestik) dan transmisi ke manusia di daerah endemik rabies sering diabaikan oleh institusi pelayanan kesehatan hewan dan sektor kesehatan masyarakat .  
Di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, sebagian besar dari populasi anjing tidak dibatasi atau semirestricted dan tidak di bawah kontrol langsung dari pemiliknya. Istilah ini mencakup anjing yang berkeliaran bebas dilingkungan baik ada pemiliknya ataupun tidak dan tidak membedakan apakah anjing memiliki "pemilik" atau "tidak".  Anjing tidak termasuk dalam sistem perawatan kesehatan konvensional dibandingkan dengan spesies lain yang diakui sebagai vektor penyakit (misalnya, vektor serangga penular penyakit malaria atau demam berdarah) yang dikendalikan sebagai bagian dari program pengendalian kesehatan masyarakat.  Anjing tidak seperti hewan ternak, karena bukan komoditas ekonomi yang diakui.  Akibatnya, di banyak negara yang terkena rabies, pelayanan kedokteran hewan dan dokter hewan swasta tidak memiliki keinginan untuk memprioritaskan dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan untuk mengendalikan penyakit ini.
Program pengendalian dan pemberantasan yang telah dilakukan dibeberapa daerah di Indonesia masih belum efektif.  Hal ini berkaitan dengan kerjasama lintas sektoral dan kebijakan yang ada belum terpadu atau terintegrasi dengan baik disisi lain konsep yang ada sudah cukup baik.  Adanya otonomi daerah, pada kenyataannya semakin membuat program dalam rangka pembebasan rabies menjadi terhambat.  Program pencegahan dan pengendalian yang ada masih belum terlaksana dengan baik dan belum melibatkan sumber daya lokal dengan memberdayakan masyarakat yang ada.  Kesadaran masyarakat setiap tahun dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, namun sampai saat ini masih belum mengenai sasaran yang tepat.
Strategi pencegahan dan pengendalian pada negara berkembang sudah dilaporkan dan sudah banyak yang berhasil membebaskan daerahnya dari rabies.  Sebagai contoh program pengendalian yang dilakukan oleh Philippines yang telah berhasil membebaskan Pulau Bohol dari rabies.   Program ini mempunyai dasar strategi pada inisiatif berbasis masyarakat (community based), dengan fokus pada kolaborasi dengan pemerintah daerah, pemberdayaan masyarakat lokal untuk merancang, melaksanakan, dan mengelola program pengendalian rabies oleh mereka sendiri sesuai dengan program rabies nasional.  Selain itu program pengendalian rabies ini mempunyai target pendidikan yang ditujukan pada anak sekolah dan eliminasi rabies pada anjing.    
Indonesia merupakan negara kepulauan dan dapat mencontoh program pengendalian rabies pada negara berkembang yang telah berhasil membebaskan wilayahnya dari rabies seperti Philippines.  Program pengendalian rabies harus dilakukan secara bertahap sebagai contoh pulau Bali, Ambon, Nias dan beberapa daerah di Indonesia dapat mencontoh program pengendalian rabies di pulau Bohol.
Untuk mewujudkan Indonesia bebas rabies perlu dilakukan  pengendalian lalulintas hewan penular rabies dengan melakukan pengawasan yang ketat terhadap keluar masuk nya anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya ke daerah bebas di Indonesia.  Kegiatan pengendalian ini dilakukan oleh institusi karantina pertanian yang bertujuan untuk mencegah penularan dan penyebaran rabies lebih luas dari suatu area ke area lainnya.  Pengendalian lalulintas ini tertuang dalam Kepmentan Nomor 1096/kpts/TN.120/10/1999 dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 344b./kpts/PD.670.370/L/12/06.
Kegiatan lain yang dilakukan antara lain penelusuran, penyidikan dan surveilans rabies pada hewan dan manusia yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian.  Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengendalian rabies terus ditingkatkan yang menjadi tangung jawab semua sektor terkait.  Pengendalian dan pencegahan rabies dapat dilakukan dengan vaksinasi, eliminasi dan pengendalian populasi anjing.  Kita belajar dari kasus rabies di Bali, dimana Bali merupakan daerah bebas dan tidak diperbolehkan vaksinasi pada hewan-hewan rentan, akibatnya terjadi wabah pada tahun 2008 dan menyebabkan kasus kematian pada manusia.
Pemberdayaan masyarakat sangat penting, karena Indonesia merupakan negara dengan sosial-ekonomi, budaya, dan adat istiadat yang beragam.  Mengikutsertakan masyarakat dalam pembebasan rabies sudah dilaporkan sangat efektif.  Dibeberapa negara berkembang bahkan sudah memasukkan program pencegahan dan pengendalian rabies pada kurikulum pendidikan di sekolah dasar dimana keterlibatan anak-anak usia sekolah mempunyai  peranan yang sangat penting.  Keterlibatan institusi yang bertanggung jawab terhadap penelitian juga sangat dibutuhkan untuk studi ekologi, epidemiologi,dan perilaku pemeliharaan anjing.
Program pencegahan dan pengendalian dalam rangka pembebasan rabies di Indonesia tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya kerjasama lintas sektoral dan kebijakan yang terintegrasi.  Program ini harus didukung oleh pemerintah pusat, daerah, masyarakat lokal, pihak swasta dan para sukarelawan.  Program ini sangat membutuhkan dana yang tidak sedikit, oleh karena itu kerjasama pemerintah pusat, daerah dan pihak ketiga sangat dibutuhkan untuk membiayai program ini agar dapat berjalan dengan baik.