Jumat, 20 Mei 2011

BRUCELLOSIS



Etiologi
            Brucellosis adalah penyakit reproduksi pada hewan khususnya ternak ruminansia yang disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella yang menyebabkan keguguran pada umur kebuntingan tertentu (Schurig et al 2002).  Penyakit ini bersifat zoonosis dan pertama kali ditemukan pada manusia dengan istilah Mediteranian fever atau Malta fever yang menyerang tentara militer di Inggris.  Pada tahun 1904, David Bruce mengisolasi Micrococcus melitensis dari hati penderita Malta fever dan menemukan kesamaan bakteri tersebut dengan bakteri penyebab penyakit pada kambing. Identifikasi penyakit Brucellosis pada ternak dilakukan oleh Bernhard Bang dan kemudian pada babi oleh Jacob Traum.  Spesies Brucella ditemukan sebagai penyebab keguguran pada ternak umur trimester ketiga kehamilan (Bardeenstein et al 2010). 
Bakteri ini bersifat Gram negatif, non-motil, tidak membentuk spora, berbentuk kokobasil, nitrat positif, katalase positif, oxidase positif, urease positif, aerob dan tumbuh sangat lambat pada media agar darah.  Koloni bakteri ini berbentuk bundar dengan diameter 0,6 x 0,6 sampai 1,5 μm.  Di dalam tubuh inang bersifat patogen fakultatif intrasellular (Seleem et al 2010). Taksonomi dari bakteri ini adalah :
kingdom          : Proteobacteria
kelas                : Rhodospirilli 
ordo                 : Rhizobiales
famili              : Brucellaceae 
genus               : Brucella 
Koloni bersifat kasar berbentuk granular, merah kekuningan dan merah violet bila diwarnai dengan kristal violet.  Untuk mengisolasi  bakteri dibutuhkan tambahan 5 – 10% karbon dioksida dan membutuhkan waktu inkubasi 3 – 5 hari  pada suhu 37oC agar koloni muncul.  Sedangkan Brucella abortus mampu memproduksi (Ghaffar 2005). 
           
Epidemiologi
            Brucellosis merupakan penyakit reproduksi pada ternak yang mempunyai pengaruh penting terhadap nilai ekonomi. Penyakit ini menyebabkan infertilitas, penundaan masa berahi, gangguan laktasi, penurunan jumlah ternak, wool, daging, susu dan merupakan penyakit zoonosis penting pada negara berkembang (Renukaradhya et al 2002).  
Karakteristik yang paling signifikan dari epidemiologi Brucellosis pada sapi adalah penyebaran organisme dalam jumlah yang besar selama 10 hari setelah aborsi atau kelahiran dari sapi yang terinfeksi dan konsekuensinya akan mengkontaminasi lingkungan. Perpindahan sapi terinfeksi ke dalam kelompok ternak dapat mentransfer penyakit ketika sapi mengingesti bakteria dari fetus yang aborsi, plasenta dan discharge dari sapi yang mengalami aborsi atau dari air yang terkontaminasi (AHA 2005).
           
Gejala Klinis
Gejala utama pada sapi betina adalah aborsi pada trimester terakhir (5 – 7 bulan).  Pada populasi yang belum pernah terpapar dengan penyakit akan muncul “abortion storm”, dengan jumlah aborsi pada sapi betina tinggi dalam waktu singkat. Pernah dilaporkan sebanyak 30 – 40% aborsi terjadi pada kelompok ternak rentan dan dilaporkan adanya kasus endometritis serta retensi plasenta juga terjadi (AHA  2005).  Menurut Bennet 2004, gejala klinis yang paling nyata adalah aborsi dan kelahiran anak sapi yang lemah.  Pada sapi yang tidak divaksin rata-rata 60 – 70% terjadi aborsi akibat infeksi brucellosis.  Gejala klinis pada bull akan tampak inflamasi pada testis (orchitis) dan kelemahan karena terjadi bursitis. Bila sapi belum matang secara seksual, gejala klinis tidak akan tampak (subklinis), gejala baru akan muncul bila terjadi kematangan seksual (AHA  2005). 
Secara serologis (positif Complement Fixation Test/CFT) kejadian abortus sekitar 48,5 % terjadi pada trimester dua (4-6 bulan) umur kebuntingan dan sekitar 48,5% lainnya terjadi pada trimester tiga (6-9 bulan) umur kebuntingan, dengan kata lain 97%  kejadian abortus terjadi pada umur kebuntingan lebih tua dari tiga bulan (Putra 2005).  
Patogenesa
Bruselosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari genus Brucella. Brucella dapat menyerang bebagai ternak diantarnya sapi, domba, kambing  dan babi. Bruselosis ini bersifat zoonosis sehingga dapat menyerang manusia. Sumber penularan penyakit ini adalah cairan genital, semen dan susu. Dijelaskan juga bahwa padang rumput, pakan dan air yang tercemar merupakan sarana utama penyebarannya. Pada sapi dewasa yang sudah matang kelamin terutama sapi bunting sangat peka terhadap infeksi B. abortus. Namun sapi dara dan tidak bunting banyak yang resisten terhadap infeksi ini Penularan penyakit ini juga dapat melalui kontak langsung dengan kulit luka, ambing terinfeksi dan inseminasi dengan semen yang tercemar (Manthei et al  1950).

Masa Inkubasi
            Masa inkubasi tergantung pada individu hewan tersebut yang dipengaruhi oleh kematangan seksual, umur kebuntingan pada saat terjadinya infeksi (inversely proportional), dosis challenge, eksposur selanjutnya atau vaksinasi.  Rata-rata masa inkubasi adalah 67 hari pada sapi terinfeksi atau 6 bulan umur kebuntingan.  Masa inkubasi minimum adalah 1 bulan (AHA  2005).  Sedangkan menurut Bennet 2004, masa inkubasi penyakit brucellosis adalah 2 minggu sampai dengan satu tahun.

Respon Antibodi Terhadap Agen
            Reaksi antibodi terhadap protein membran luar terjadi pada beberapa infeksi bakteri. Dalam kelenjar pertahanan, kuman akan tertelan oleh sel fagosit. B. abortus merupakan kuman bersifat fakultatif intraseluler dan memiliki 5-guanosin monofosfat maka memiliki fungsi menghambat efek bakterisidal dalam sel fagosit (neutrofil) tersebut (Canning et al  1986). Setelah diingesti oleh fagosit, 15 – 30% organisme bertahan di dalam sel polymorphnuclear atau mononuclear fagosit. Kuman tersebut menggunakan beberapa mekanisme yang berbeda untuk menghindar atau menekan respon bakterisidal. Berdasarkan model pada hewan, LPS ditemukan berperan dalam pertahanan intraseluler tersebut.
            Respon antibodi terhadap protein membran luar terjadi  proliferasi limfosit terdeteksi 1-2 minggu setelah infeksi. Antibodi yang dihasilkan sangat  bervariasi tergantung dari sifat antigenitas fraksi protein dinding sel B. abortus. Fraksi protein yang paling bersifat antigenik diharapkan mampu merangsang timbulnya antibodi spesifik sedini mungkin (Belanti 1993). Oleh karena itu, protein tersebut sangat berguna untuk dipakai sebagai reagen diagnosis.

Daya Tahan Agen
Pada kondisi ideal, B. abortus dapat menetap pada material organik seperti feses, cairan aborsi dan susu sampai dengan 6 bulan dan dapat bertahan sampai dengan 8 bulan dalam fetus yang aborsi.  Bakteri sangat rentan terhadap pengawetan dan pengeringan serta cahaya langsung sangat cepat dapat menghancurkan organisme.  Semua jenis desinfektan yang standar dapat merusak Brucella sp.

Transmisi
            Dalam Animal Health Australia (2005) diterangkan bahwa trasmisi B. abortus biasanya terjadi melalui ingesti makanan terkontaminasi, air atau dengan menjilat plasenta terinfeksi, anak sapi atau fetus, atau organ genital sapi terinfeksi segera setelah terjadi aborsi atau kelahiran.  Inhalasi dan kontak langsung terutama dengan kulit yang luka atau membran mukosa dapat menjadi faktor masuknya agen penyakit.  Sapi muda (heifer) yang terinfeksi mungkin tidak akan  terdekteksi pada uji serologis dan dapat menjadi sumber infeksi setelah pubertas. Perpindahan sapi yang berasal dari importasi sapi yang terinfeksi secara laten ke populasi yang bebas bisa merupakan penyebab penyebaran penyakit brucellosis. 
Kuman B. abortus yang berasal dari sapi terinfeksi akan menyebar dalam jumlah yang sangat besar pada saat kelahiran dan aborsi merupakan sumber utama terjadinya infeksi.  Sapi betina yang terinfeksi juga secara intermitten akan menyebarkan organisme melalui kolostrum dan susu.  Feses, urin dan cairan hygroma mungkin juga dapat membawa organisme meski dalam jumlah yang kecil. Discharge genital memungkinkan mengandung sejumlah besar organisme dalam beberapa minggu setelah partus normal ataupun aborsi.  Sapi yang terinfeksi secara kronis diketahui akan mengeksresikan organisme setiap bunting.  Perpindahan kongenital dari induk terinfesksi kepada fetus belum tentu dapat terjadi.
Sapi jantan biasanya terinfeksi pada saat terjadinya aborsi yang disebabkan oleh B.abortus di dalam kelompok ternak. Sekali terinfeksi organisme akan bertahan dan terlokalisasi di testes.  Sejumlah besar organisme mungkin akan tereksresi di dalam semen selama fase akut, sehingga semen sangat berpotensial  sebagai sumber infeksi.  Sapi jantan juga mengeluarkan B. abortus di dalam feses, urin dan cairan hygroma.
Penularan penyakit pada perkawinan alami yang ditularkan oleh pejantan jarang terjadi, tetapi resiko yang nyata yaitu penularan melalui inseminasi buatan, sedangkan resiko penularan melalui embrio dapat diabaikan.  Penularan mekanik dari mesin pemompa susu yang terkontaminasi oleh susu terinfeksi dapat walaupun jarang.  Sebagai pencegahan perlu dilakukan desinfeksi peralatan yang dilakukan minimal sebulan sekali.

Faktor-faktor yang mempengaruhi transmisi
Organisme dapat bertahan pada lingkungan tergantung kepada suhu optimal, cahaya yang kurang dan musim dingin.  Konsentrasi peternakan susu pada satu lokasi dan musim kebuntingan akan menyediakan kondisi yang ideal untuk transmisi penyakit didalam kelompok ternak sehingga sapi yang terifeksi akan mengalami keguguran setelah terpapar.  Banyak faktor yang mempengaruhi dalam epidemiologi brucellosis, yang penting adalah ukuran dan mobilisasi kelompok ternak, kontak dengan kelompok ternak terinfeksi, konsentrasi sapi dan produksi alami (peternakan sapi perah lebih rentan dibandingkan sapi potong) (AHA  2005).

Faktor Resiko Pada Manusia
      Menurut Soejoedono 2004, brucellosis pada manusia secara umum terjadi karena faktor keterpaparan. Secara lebih rinci keterpaparan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.       Umur.
Penyakit ini umumnya menyerang usia muda sampai setengah baya.  Pada usia produktif tersebut terjadi kontak dengan hewan-hewan yang terinfeksi.  Anak berusia kurang dari setahun jarang terkena, namun bila terinfeksi maka akan berakibat fatal.  Anak-anak balita dapat terkena brucellosis akibat mengkonsumsi susu yang mengandung agen penyakit.
b.      Jenis Kelamin.
Brucellosis lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita.  Hal ini berkaitan dengan pekerjaan yang memungkinkan kontak dengan material infeksius karena belum ada kejelasan ilmiah apakah ada perbedaan respon kekebalan menurut jenis kelamin sehingga wanita lebih jarang terinfeksi.
c.       Mata Pencaharian.
Kontak dengan hewan dan produk hewan pada saat bekerja beresiko tinggi terhadap penularan.  Profesi seperti dokter hewan, tukang kandang, jagal dan pekerja Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan kelompok yang rentan terhadap infeksi brucellosis.
d.      Kebudayaan.
Kebudayaan suatu bangsa akan mempengaruhi terjadinya penyakit pada manusia.  Kasus yang tinggi pada hewan piara akan diikuti dengan kasus yang tinggi pada manusia karena kebiasaan hidup masyarakat yang sangat erat dengan hewan piaraannya.

Selain faktor keterpaparan, keragaman jumlah kasus pada hewan juga mempengaruhi keragaman jumlah kasus pada manusia.  Hal ini terkait dengan musim dimana keragaman dari jumlah hewan yang melahirkan pada suatu musim akan diikuti perubahan keragaman pada jumlah kasus penyakit di peternakan-peternakan.  Sehingga bila jumlah hewan yang disembelih di RPH tidak besar keragamannya, maka jumlah kasus brucellosis yang dilaporkan terjadi di RPH juga tidak besar keragaman musimnya (Soejoedono 2004).


Faktor Resiko Pada Hewan
      Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada hewan ternak antara lain adalah sebagai berikut :
a.       Induk Reaktor.
Pedet (anak sapi) yang dilahirkan dari induk reaktor akan menjadi karier yang laten dan akan mengalami abortus pada kebuntingan pertama serta mencemari lapangan penggembalaan kembali (Pitona dan Hendrawati 2006). 
b.      Sistem Beternak.
Prevalensi brucellosis pada peternakan yang dikelola dengan sistem semi intensif atau ekstensif tradisional biasanya lebih tinggi daripada sistem intensif (dikandangkan) (Miswati et al 2003).
c.       Ternak Pengganti.
Pembelian ternak pengganti yang telah terkena bruselosis atau berasal dari tempat penjualan dimana manajemen dan tatalaksana penjualannya tidak bagus akan mempunyai resiko terkena bruselosis yang lebih tinggi (Richey dan Dix Harrell 2008). 
d.      Jarak Antar Kawanan Ternak.
Jarak antara kawanan ternak terinfeksi dan tidak terinfeksi yang kurang dari 1,5 mil mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi untuk tertular. Penyebaran penyakit tergolong beresiko rendah bila jarak antara kawanan ternak tersebut lebih dari 1 mil (Richey dan Dix Harrell 2008).
e.       Kontak dengan Hewan Liar
Pada area dimana brucellosis eksis, kontak dengan hewan liar seperti serigala, anjing hutan dan anjing liar mempunyai resiko yang lebih tinggi daripada kawanan ternak yang tidak terpapar.  Hal ini dapat terjadi karena hewan-hewan tersebut dapat menyebarkan material abortus baik fetus maupun plasenta yang mengandung agen bruselosis dari satu kawanan ke kelompok ternak yang lain (Richey dan Dix Harrell 2008).



Uji Diagnostik
            Dalam uji diagnostik, istilah spesifisitas diartikan sebagai kemampuan dari suatu uji untuk mengidentifikasi secara tepat respon/ hasil negatif dari hewan yang tidak terinfeksi. Sementara sensitivitas berarti bahwa uji tersebut dapat mendiagnosa secara tepat respon positif dari hewan yang terinfeksi. Suatu uji yang digunakan untuk skrining idealnya memiliki sensitivitas yang tinggi (tidak perlu terlalu spesifik), mudah dan cepat dilakukan serta ekonomis. Sedangkan uji tertentu yang diperuntukkan sebagai konfirmasi, harus memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi (Stemshorn et al  1985).

Uji Pada Hewan
Seluruh kejadian abortus pada hewan ternak patut dicurigai sebagai suspect bruselosis. Diagnosa dapat dilakukan dengan dua cara yaitu isolasi dan identifikasi agen serta menggunakan metode serologis. Untuk mengidentifikasi agen penyakit tidak mungkin bisa dilakukan bila hanya menggunakan satu jenis uji diagnostik. Oleh karena itu kombnasi dari beberapan pengujian sangat diperlukan (OIE 2004).
Uji serologis dapat diandalkan karena tidak dijumpai adanya gejala patognomonik pada hewan yang terinfeksi (Soejoedono 2004). Jenis uji yang dapat digunakan untuk mendiagnosa bruselosis diantaranya adalah Rose Bengal Test (RBT), Serum Aglutination Test (SAT) serta Complement Fixation Test (CFT). Sampel serum dapat dikoleksi dari suatu kelompok setelah terjadinya keguguran pada anggota ternak dan kemudian diambil lagi setelah 30 hari (Akoso 1996). Pengambilan ulang (resampling) tersebut bermanfaat untuk menjaring reaktor bruselosis yang memberi reaksi negatif palsu pada saat sampling pertama (Putra dan Arsani 2005).
Identifikasi agen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik yaitu metode pewarnaan, kultur media dan Polimerase Chain Reaction – Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Sementara metode serologis yang dapat digunakan diantaranya adalah RBT, BPAT, CFT, Indirect ELISA, Competitive ELISA dan Fluorescence Polarisation Assay (FPA). Keseluruhan uji tersebut merupakan kelompok uji yang dianjurkan oleh OIE dalam pengawasan perdagangan internasional. Uji jenis lain yang juga dapat digunakan adalah Brucella Skin Test, Serum Aglutination Test (SAT), Native Hapten and PolyB tests, Milk I-ELISA dan Milk Ring Test (MRT) (OIE 2004).
Performa masing-masing uji diagnostik terhadap bruselosis menurut OIE (2004b) yang tertuang dalam Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals chapter 2.3.1 adalah sebagai berikut :
  1. Uji RBT mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi namun kadang memberikan hasil positif palsu terhadap vaksin S19 atau sebab lain yang dinamakan False-Positive Serological Reactions (FPSR) yang biasanya disebabkan oleh bakteri Yersinia enterolitica O:9. Hasil positif palsu tersebut harus dikonfirmasi dengan menggunakan uji lain. Negatif palsu jarang sekali terjadi dan dapat diantisipasi dengan melakukan pengujian ulang ketika resampling. Untuk keperluan skrining bruselosis, RBT cukup dapat diandalkan. Menurut PAHO (2003), Uji RBT mempunyai kelebihan dibandingkan uji lain karena mudah, cepat dan dapat digunakan untuk memeriksa sampel yang sangat banyak dalam waktu yang relatif singkat. Sensitivitas RBT sangat tinggi sehingga dapat mendeteksi terjadinya infeksi lebih awal dan kecil kemungkinan hewan yang terinfeksi tidak terdeteksi. Di Inggris dan Australia RBT digunakan sebagai tes skrining. Seluruh hewan yang serumnya positif terhadap uji ini kemudian di tes lagi dengan uji lain untuk mengantisipasi keberadaan positif palsu.
  1. Uji BPAT sebagaimana RBT juga mempunyai sensitivitas yang tinggi. Konfirmasi juga diperlukan terhadap hasil positif karena uji ini sangat peka dalam mendeteksi antibodi hasil induksi dari vaksinasi.
  2. Uji CFT sangat luas digunakan dan telah diterima sebagai uji konfirmasi karena memiliki spesifisitas yang sangat tinggi meski tergolong sulit untuk dikerjakan. Namun demikian tidak berarti bahwa CFT sama sekali tidak memunculkan hasil positif palsu. Respon tersebut juga ada namun hanya kadang-kadang. Menurut Apan et al. (2007), spesifisitas dan sensitivitas CFT secara berurutan adalah 95% dan 80%. 
  3. Uji Indirect ELISA mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi, namun sebagaimana uji serologis yang lain, uji ini tidak dapat membedakan antibodi hasil vaksinasi, FPSR ataupun akibat infeksi alami. Oleh karena itu, diagnosa lanjutan dengan menggunakan uji konfirmasi harus dilakukan. Spesifisitas uji sama tingginya dengan CFT pada kawanan yang tidak divaksin. Namun pada kelompok yang divaksin dengan strain S19 atau pada kondisi dimana terjadi FPSR, spesifisitasnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan CFT.
  4. Uji Competitive ELISA dengan menggunakan MAb spesifik untuk satu epitop dari genus Brucella sp.. Dibandingkan dengan i-ELISA, c-ELISA mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi. Tehnik ini disamping mampu membedakan antibodi infeksi alami dan induksi vaksin S19, juga mampu meminimalisir pengaruh bakteri yang mengakibatkan FPSR. Uji c-ELISA memiliki sensitivitas yang sama tingginya dengan uji i-ELISA terhadap kelompok yang terinfeksi. Sedangkan spesifisitas ujinya pada kelompok yang tidak divaksinasi spesifisitasnya lebih dari atau sama dengan CFT dan i-ELISA. Pada kelompok yang divaksinasi dengan strain S19, terbukti bahwa c-ELISA mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CFT dan i-ELISA.
  5. Uji FPA merupakan tehnik yang mudah digunakan untuk mengukur interaksi antigen-antibodi dan dapat diseting untuk aplikasi laboratorium maupun keperluan lapangan. Disamping mudah, uji ini bersifat homolog dan cepat. Sensitivitas dan spesifisitas FPA sebanding dengan c-ELISA. Spesifisitas diagnosa pada kelompok yang baru saja divaksinasi dengan strain S19 dapat mencapai lebih dari 99%. Namun demikian, pada kondisi FPSR spesifisitasnya belum diketahui secara pasti.             
  6. Brucellin Skin Test. Alternatif tes imunologis yang bisa digunakan salah satunya adalah uji Brucellin Skin Test. Uji ini dapat digunakan untuk menskrining kawanan yang tidak divaksinasi dengan tingkat spesifisitas yang sangat tinggi. Sehingga, hasil negatif tes serologis dari kawanan yang tidak divaksinasi dapat dicek dengan uji ini untuk memastikannya. Disamping itu, uji ini dapat digunakan untuk melengkapi uji serologis lain yang menunjukkan hasil positif akibat FPSR, terutama pada wilayah yang bebas bruselosis. Meskipun uji ini sangat spesifik pada kelompok yang divaksinasi, dalam aplikasinya hendaknya dibarengi dengan uji serologis karena respon intrademal yang ditimbulkannya terkadang membutuhkan waktu yang lama. Dengan interval pengujian pertama dan kedua 6 minggu pada hewan yang sama maka hasil uji negatif dapat dipertanggungjawabkan.
  7. Uji SAT tidak dianjurkan untuk skrining ataupun alternatif. Spesifisitasnya hanya akan meningkat apabila antigen yang akan digunakan terlebih dajulu dicampur dengan EDTA.
  8. Pada sapi perah, pengujian dapat dilakukan pada sampel susu dari tangki penampungan. Apabila hasilnya positif, maka dilakukan pengujian serologis pada tiap-taip individu sapi. Ada dua uji yang bisa digunakan yaitu Milk i-ELISA dan MRT. Uji Milk i-ELISA mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan cocok untuk digunakan pada jumlah kawanan yang besar. Sedangkan uji MRT dapat digunakan untuk skrining. Pada jumlah kawanan yang besar (>100 ekor), sensitivitasnya akan menurun. Positif palsu dapat terjadi pada hewan yang divaksinasi kurang dari 4 bulan sebelum pengujian, pada susu yang mengandung kolostrum dan ketika terjadi mastitis.

Uji skrining bisa dilakukan dengan tes serologis tunggal atau serial dengan menggunakan tehnik Buffered Acidified Plate Antigen (BAPA) dan uji Card Agglutination. Dengan kedua uji tersebut meskipun dapat diperoleh hasil positif, namun belum dapat membedakan apakah reaksi berasal dari infeksi ataukah vaksinasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji lanjutan sehingga reaktor dapat ditetapkan. Uji Rivanol (RIV), Complement Fixation Test (CFT) dan Particle Concentration Fluorescent Immuno Assay (PCFIA) merupakan beberapa uji lanjutan yang dapat digunakan untuk membedakan hewan yang terinfeksi alami dan hewan yang divaksinasi. Dengan hasil pengujian lanjutan maka dapat diperoleh status hewan sebagai reaktor ataukah tidak (Richey & Dix Harrell 2008).
Dalam perdagangan internasional, uji serologis yang paling baik dan direkomendasikan oleh badan kesehatan hewan dunia adalah CFT. Uji indirect Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) pernah dikaji mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada CFT, sehingga berpotensi menjadi tehnik diagnosa serologis yang direkomendasikan (OIE 2004). Namun demikian, berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Kerby et al (1996), pada populasi negatif yang tidak divaksinasi, CFT memiliki spesifisitas 100% sedangkan ELISA 98%. Pada populasi yang divaksinasi dengan vaksin S-19, CFT masih memiliki spesifisitas yang tinggi yaitu 98% sementara spesifisitas ELISA turun menjadi 83% (cut-off 20%) dan 94% (cut-off 40%).
Tes serologis untuk tujuan pemberantasan penyakit dapat dilakukan dengan dua tahapan. Pertama, dilakukan skrining tes dengan menggunakan jenis uji yang memiliki sensitivitas yang sangat tinggi (contoh : RBT pada sapi potong dan uji MRT pada sapi perah) untuk menjamin bahwa seluruh hewan yang terinfeksi terjaring. Kedua, sampel positif hasil skrining dikonfirmasi dengan uji yang memiliki spesifisitas yang sangat tinggi seperti c-ELISA dan CFT sehingga dapat dibedakan respon infeksi dengan respon vaksinasi (Robinson  2003).

Uji Pada Manusia
Tehnik diagnosa yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bruselosis pada manusia (animal handler) salah satunya adalah Standard Tube Agglutination Test (STAT). Dengan menggunakan STAT aglutinasi yang terjadi dapat dilihat pada tabung dimana pembacaan dilakukan dengan cara ditembuskan pada cahaya dan dibandingkan reaksi aglutinasinya dengan tabung kontrol (Mudaliar et al 2003).  Uji RBT dan ELISA juga dapat digunakan untuk diagnosa bruselosis pada manusia. Uji ELISA yang digunakan adalah Elisa IgG dan Elisa IgM. Kedua uji ini dilakukan secara bersamaan sehingga dapat mengetahui kasus bruselosis akut dan kronis. (Apan et al  2007).
Pengujian menggunakan Skin Test dengan antigen B. abortus S19 terlarut fenol juga dapat digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi Brucella pada manusia. Sensitivitas uji ini pernah dilaporkan oleh Duclos et al. sebesar 75% dan spesifisitasnya mencapai 94% dari 424 mahasiswa kedokteran hewan pada suatu universitas di Prancis tahun 1984. (Duclos et al 1989).  Menurut Robinson (2003), skrining pada manusia dilakukan dengan menggunakan RBT. Respon positif dari uji ini kemudian dapat dikonfirmasi dengan isolasi bakteri, STAT, ELISA (IgA, IgG dan IdM), 2-Mercaptoethanol Test, CFT, Combs dan Fluorescent Antibody Test (FAT).

Peneguhan Diagnosa
            Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi kuman penyebab. Untuk keperluan ini spesimen fetus dapat diambil dari organ paru dan lambung, sedangkan dari induk dapat diambil dari plasenta, getah vagina dan susu. Sapi pejantan dapat dikoleksi semennya. Apabila dilakukan nekropsi, maka spesimen dapat diambil dari kelenjar limfe supramamaria atau iliaka (Akoso 1996). Namun demikian, peneguhan diagnosa yang dilakukan dengan cara isolasi dan identifikasi agen biasanya akan memakan waktu yang lama (1-4 minggu). Tehnik PCR-RFLP dapat digunakan sebagai alternatif untuk peneguhan diagnosa dan membedakan strain bakteri brusela yang ditemukan sehingga bisa mendeteksi adanya strain baru yang masuk ke dalam suatu wilayah (Salehi et al 2006).

1 komentar: